Tolak ukur dari strategi ini adalah pencegahan perluasan kekuasaan musuh, yang bertujuan meniadakan kemampuan Uni Soviet untuk mengembangkan lingkup pengaruhnya. Tatanan terjaga dengan mengatur keseimbangan bipolar antara kubu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Stabilitas tercapai melalui penghadangan nuklir. Untuk pertama kalinya, senjata nuklir dan doktrin yang saling memastikan kehancuran membuat perang antara negara-negara besar menjadi tidak rasional. Namun pencegahan perluasan kekuatan musuh dan keseimbangan kekuatan global berakhir dengan ambruknya Uni Soviet pada tahun 1991. Penghadangan nuklir tak lagi menjadi logika utama dari tatanan yang ada, sekalipun hal ini masih menjadi sisa masalah yang berlanjut menggoyangkan stabilitas hubungan Cina, Rusia dan Barat.
Terdapat tujuan-tujuan dasar kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada pasca Perang Dingin yaitu:
1.Ingin menekankan persaingan keamanan di Eropa dan Asia
2.Mencegah munculnya negara-negara besar yang bermusuhan
3.Mendorong ekonomi dunia yang lebih terbuka
4.Melarang penyebaran senjata pemusnah massal (SPM), dan
Beberapa Prakarsa Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang penting lainnya, diantaranya:
- Penyebaran dan dukungan terhadap “freedom” dan “democracy”.
- Roadmap Perdamaian Palestina-Israel dan “Greater Middle East Initiative”
- Penciptaan sistim perdagangan bebas yang adil di tingkat global, regional dan/atau bilateral.
- Millenium Challenge Account.
Terjadi perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca 11 September 2001, yaitu :
- Dari kebijakan multi-dimensi dengan pemberian perhatian yang berimbang kepada berbagai isu, menjadi kebijakan yang lebih berfokus kepada sejumlah kecil isu, yaitu perang melawan terorisme, pencegahan kepemilikan senjata pemusnah massal oleh negara-negara yang dianggap mensponsori terorisme (“axis of evil”), dan penggantian rezim (regime change) dimana dianggap perlu.
- Dari pemberian perhatian yang berimbang ke berbagai kawasan di dunia, menjadi konsentrasi ke kawasan-kawasan yang dianggap rawan terorisme, seperti Timur Tengah, Asia Tengah dan Selatan, serta negara-negara yang diharapkan berperan dalam perang melawan terorisme.
- Dari pemberian kesempatan kepada proses multilateralisme murni, menjadi penggunaan badan-badan multilateral untuk melegitimasikan kepentingan nasional, pembentukan “coalition of the willing”, atau penerapan unilateralisme.
- Beranjak dari pra-anggapan adanya musuh baru yang tak terlihat (stealth), tak mengenal batas (borderless) dan tak mengenal hukum dan kemanusiaan (lawless and inhuman), mulai dikembangkan konsep “defensive intervention”, dan/atau “pre-emptive strike”.
Dalam pidato kenegaraan Bush pada tanggal 29 Januari 2002 memberikan gambaran yang begitu gamblang tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Bahkan, apa yang dikemukakan dalam pidato itu oleh Richard Falk, Ketua Dewan Nuclear Age Peace Foundation, Amerika Serikat, ketika itu dinilai sebagai gagasan radikal. Karena, dalam pidato itu dinyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki hak menggunakan kekuatan militer terhadap setiap negara yang dipandang sebagai musuh atau melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan senjata pemusnah massal-nuklir, biologi, atau kimia. Dalam pidato tersebut, Korea Utara disebut-sebut termasuk dalam daftar penyerangan.
Itulah garis besar yang disebut sebagai Doktrin Bush. Doktrin ini digunakan untuk membenarkan kesombongan baru yang dilakukan Amerika Serikat di luar negeri yang belum pernah terjadi sejak awal Perang Dingin. Selain itu, doktrin tersebut juga dijadikan dasar untuk mendefinisikan ulang hubungan Amerika Serikat dengan dunia (Michael Hirsh, Bush and the World dalam Foreign Affairs, September/Oktober 2002)
0 Response to "Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat"
Post a Comment