Prosedur Penyelesaian Konflik dan Pengadilan Internasional

Apabila kedua belah pihak yang sedang dalam konflik merasakan bahwa diantara mereka terdapat pertentangan tujuan, nilai, kepentingan atau posisi, maka salah satu cara yang mungkin dapat menyelesaikannya adalah salah satu atau kedua belah pihak harus menarik diri dari posisi tawar menawar atau menghentikan semua tindakan yang dapat mengakibatkan respon yang bermusuhan (KJ. Holsti, 1987:606). 

Namun, ada cara lain yaitu dengan cara penyerahan yang merupakan suatu penyelesaian yang sangat rumit sifatnya dan biasanya didahului oleh kompromi di mana pihak yang terlibat menyetujui suatu penyelesaian tanpa prosedur tawar menawar. Penyerahan suatu cara penyelesaian yang bersifat mengikat, dipengaruhi oleh pihak ketiga yang independen (misalnya; pengadilan) atau kriteria tertentu (misalnya: berdasarkan mayoritas yang mengatur syarat-syarat penyelesaian yang bersifat substantif) (KJ. Holsti, 1987:609-610).

Prosedur terakhir dari penyelesaian konflik internasional adalah vonis dan arbitrasi. Dalam prosedur ini kelompok yang bersengketa, dengan persetujuan sebelumnya, menyerahkan masalah mereka kepada keputusan badan peradilan yang sah yang independen. Pengadilan itu diharuskan mengambil keputusan berdasarkan hukum internasional dan yurisdiksi biasanya berlaku hanya pada masalah hukum. Menurut peraturan tambahan dari “Undang-Undang Pengadilan Internasional bagi Keadilan”, suatu masalah hukum didefinisikan secara longgar sebagai (a) tafsiran dari suatu pakta; (b) setiap pertanyaan atas hukum internasional; (c) keberadaan suatu fakta, yang jika bertahan merupakan pelanggaran atas ketertiban internasional; dan (d) sifat dasar atau keadaan dari perbaikan yang dilakukan untuk menanggulangi pelanggaran atas ketertiban internasional tersebut.

Pengadilan internasional dapat menangani suatu kasus bila kedua pihak yang bersengketa setuju atas yurisdiksi (hak hukum) darinya. Ini berarti harus ada minat bersama yang memadai diantara pihak yang bermusuhan tersebut, sebelum prosedur penyelesaian dimulai. Tidak hanya keduanya harus setuju bahwa kelanjutan penyelesaian nantinya harus diterima, tapi mereka pun harus setuju bahwa proses penyelesaian didasari atas hukum internasional dan hasil yang didapat adalah adanya pihak yang menang dan kalah, dan bukan merupakan penyelesaian kompromis. 

Prasyarat bagi vonis dan arbitrasi yang berhasil, yakni adanya masalah hukum, kepatuhan sukarela atas masalah itu dari kedua belah pihak, kesepakatan bahwa vonis atas masalah mereka lebih baik daripada konflik yang berkelanjutan, kemauan untuk menerima vonis daripada bertele-tele untuk suatu kompromi; sangat jarang ditemukan secara lengkap dalam berbagai konflik dan krisis. Oleh karena itu prosedur ini sangat jarang digunakan, kecuali terbatas untuk mengatasi masalah kecil antar negara yang bersahabat. (KJ. Holsti, 1987:628-629)

Hukum Internasional tidak berisi keharusan agar suatu negara memilih prosedur penyelesaian tertentu. Hal ini juga ditegaskan oleh pasal 33 Piagam PBB yang meminta kepada negara-negara untuk menyelesaikan secara damai sengketa-sengketa mereka sambil menyebutkan bermacam-macam prosedur yang dapat dipilih oleh negara-negara yang bersengketa. 

Karena kebebasan ini, negara-negara pada umumnya memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik ketimbang penyelesaian melalui arbitrase atau secara yuridiksional karena penyelesaian secara politik akan lebih melindungi kedaulatan mereka. Bila terjadi ketegangan internasional yang bersumber pada suatu sengketa maka negara-negara berpendapat akan lebih baik bila sengketa tersebut dapat terlebih dahulu diselesaikan secara politik mengingat sistem penyelesaian melalui cara tersebut lebih luwes, tidak mengikat dan mengutamakan kedaulatan masing-masing pihak. Kalau tidak berhasil maka baru diambil prosedur penyelesaian secara hukum, sekiranya sengketa tersebut mempunyai aspek hukumnya pula. Bahkan kedua prosedur tersebut dapat digunakan secara berturut-turut dan juga secara paralel.

Namun demikian, itu bukan berarti bahwa nilai penyelesaian secara yuridiksional kurang penting. Ditinjau dari segi tehnik yuridik penyelesaian secara hukum akan lebih menjamin pelaksanaan yang efisisen hukum internasional. Cara tersebut juga merupakan unsur positif bagi kemajuan dan perkembangan hukum Internasional (Boer Mauna, 2000: 187-188). 

Keputusan badan-badan peradilan internasional adalah merupakan keputusan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara final yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Sebab badan peradilan tersebut memang diakui dan diterima sebagai badan penyelesaian sengketa internasional dengan keputusannya yang mengikat secara yuridis (Wayan Parthiana, 1987: 71).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Prosedur Penyelesaian Konflik dan Pengadilan Internasional"

Post a Comment