Dilihat dari bentuknya asuransi dibagi menjadi dua:
- Asuransi ta'awun (saling membantu)
- Asuransi tijary (perusahaan)
Asuransi Ta'awun
Yaitu berkumpulnya sekelompok orang yang terancam bahaya yang serupa untuk masing-masing mengumpulkan uang dalam jumlah tertentu yang akan diberikan sebagai ganti untuk orang yang tertimpa musibah, jika uang hasil patungan itu lebih, maka masing - masing mereka bisa meminta kembali tapi jika kurang maka masing-masing anggota diminta untuk memberikan tambahan patungan untuk menutupi kekurangan, atau mungkin ganti ruginya dikurangai karena kelemahan untuk menutupinya, sehingga masing-masing dari mereka menjadi penjamin dan yang dijamin. Tujuan dari asuransi ini adalah saling membantu untuk memikul musibah yang mungkin akan menimpa sebagian mereka atau meringankan kerugian sebagian anggota, dan sama sekali tidak diinginkan dengannya untuk mendapatkan keuntungan matrial.
Hukum Asuransi Ta'awun
Dengan melihat kepada hakekat asuransi ini kita mendapati kenyataan dan tujuannya adalah saling tolong menolong untuk menghadapi mara bahaya dan musibah yang terkadang menimpa sebagian orang dengan cara menggantinya dari uang yang telah dikumpulkan dari hasil premi mereka, dan bukanlah tujuannya untuk mencari keuntungan atau menjadikannya lahan untuk mencari penghasilan. Oleh karenanya kita berpendapat bolehnya hal itu secara syari'at, karena prinsip-prinsip dasar syari'at yang toleran mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka, berfirman Allah ta'ala yang artinya:
"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan" (Al-Maidah: 2)
Islam juga mengarah kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak diatas azas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainya sebagaimana sebuah bangunan yang saling-menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dan dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata- mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan.
Asuransi Perusahaan
Asuransi yang dimaksud adalah diluar jenis asuransi diatas, jenis ini bukan suatu hal yang dikenal dikalangan para pendahulu dari kalangan para ahli fiqh, bukan termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, karena tidak terdapat dalam masalah ini satu nash syar'i yang membahasnya dan tidak pula terdapat pula dari kalangan para sahabat dan mujtahidin yang membahas hukumnya. Maka tatkala menyebar asuransi ini dimasa kini, mulailah para ulamanya membahas, dan berbedalah pendapat mereka sesuai perbedaan ilmu dan ijtihad mereka sebagaimana perbedaan mereka dalam masalah-masalah lain.
Adapun yang kami anggap benar adalah dilarangnya asuransi jenis ini dengan alasan beberapa hal sebagai berikut:
Karena pada transaksi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror (ketidakpastian) dimana tidak diketahui siapakah yang akan mendapatkan keuntungan pada akhirnya dengan keuntungan yang besar atau siapakah yang akan tertimpa kerugian yang besar. Padahal telah terdapat perkataan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam hadits yang shohih yang melarang jual beli yang terdapat padanya ghoror [HR. Muslim] dan ghoror itu artinya, sesuatu yang tidak tentu antara mendapatkan atau tidak, atau tidak diketahui akibatnya, seperti misalnya menjual apa yang akan dikeluarkan dari perangkapnya seorang pemburu, atau menjual apa yang terdapat dalam perut hewan atau penjualan dengan cara mulamasah (yakni mengatakan kepada pembeli misalnya: Baju mana saja yang kamu sentuh maka harganya sekian) atau dengan cara munabadzah (yakni mengatakan kepada pembeli misalnya: Barang mana saja yang kamu lempar maka harganya sekian). Dan tidak diragukan lagi bahwa ketidakpastian dalam transaksi asuransi ini lebih besar dari ketidakpastian dalam contoh-contoh yang telah berlalu bahkan mungkin mengantarkan kepada banyak problem dan konflik antara kedua belah pihak.
Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba, sedang menjauh dari riba atau subhat riba adalah wajib. Dan ini akan lebih jelas dalam asuransi hidup/jiwa, dimana seorang yang mengasuransikan membayar uang dalam jumlah sedikit untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang yang mungkin dia akan mendapatkannya atau mungkin juga tidak, jika ternyata dia tidak bisa memenuhi beberapa preminya. Maka hakekat transaksi ini adalah tukar menukar uang, salah satunya dengan kontan dan yang lain tidak kontan dan lebih dari itu dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba dengan dua jenisnya (yaitu riba fadl dan riba nasi'ah).
Di dalamnya terdapat perbuatan memakan harta manusia dengan bathil (tanpa hak) oleh pihak muammin disaat pelanggan tidak tertimpa musibah dan oleh pihak mustafid disaat terjadi musibah yang menimpanya, itu karena terkadang perusahaan membayar berlipat-lipat dari apa yang dibayarkan kepadanya, padahal telah terdapat hadits shohih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata kepada orang yang menjual korma kemudian korma itu tertimpa bencana: Dengan imbalan apa engkau menghalalkan harta saudaramu (yang membeli kormamu)?? Dan beliau juga berkata: Jika engkau jual korma kepada saudaramu kemudian tertimpa bencana, maka tidak halal bagimu untuk mengambil darinya sesuatupun, dengan imbalan apa engkau ambil harta saudaramu tanpa hak?? [HR. Muslim]. Dari sini nampak bahwa tidak perlu lagi ditoleh kepada gambaran transaksi yang terjadi diantara mereka dengan saling ridho dan rela, akan tetapi dilihat dari sisi bahwa salah satu pihak akan kehilangan haknya tanpa imbalan, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah sebelum nampak matangnya (karena alasan yang sama). Adapaun alasan bahwa kedua belah pihak melakukannya dengan saling rela maka ini adalah alasan yang bathil karena transaksi atau akad yang haram seperti judi yang terjadi dengan kerelaan orang yang melakukannya tidak menjadikan halalnya judi.
Bahwasanya transaki ini mengantarkan kedua belah pihak kepada permusuhan dan perselisihan, hal itu karena ketika terjadinya musibah masing-masing dari keduanya berusaha untuk menimpakan kerugian kepada pihak lain, yang kemudian berakibat perselisihan dan problem dan (mungkin) saling mengangkat permasalahan kepada pengadilan untuk menetapkan keabsahan terjadinya bencana yang sesuai dengan perjanjian ketika akad atau tidak sahnya, kemudian bagaimana terjadinya dan apakah itu bisa dijadikan alasan atau tidak?? Sebagaimana juga pihak perusahaan melihat kepada musta'min ketika dia membayar dengan penglihatan bahwa dialah penyebab kerugian perusahaannya atau kelemahannya. Begitu juga musta'min ketika tidak terjadi bencana, dia akan menyesali atas pembayarannya dan kerugiannya yang telah dia bayarkan kepada perusahaan yang tidak memberikan imbalan sesuatu apapun, karena perusahan menganggap pembayaran premi itu merupakan haknya dan penghasilannya bukan jasa dari yang membayarnya.
Tidak ada kebutuhan untuk membolehkannya, sedang Islam telah menjamin pemeluknya dengan disyari'atkannya sodaqoh dan diwajibkannya zakat untuk fakir miskin dan yang terlilit hutang, dalam hadits Nabi bersabda: "Saya lebih utama atas setiap muslim dari dirinya, barangsiapa yang meniggalkan warisan maka untuk pewarisnya, dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau kehilangan, maka kepadaku dan (kewajiban) atasku (untuk membayarnya)."
Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salah satu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung - untungan atau tanpa pekerjaan, maka jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan tapi jika tidak maka akibatnya akan merugikannya, kalau begitu prinsip perjudian terdapat dalam transaksi ini, dan maslahat masing-masing fihak tegak diatas bencana yang lain, perusahaan maslahatnya pada apa yang ia dapatkan ketika tidak terjadi kecelakaan, dan maslahat musta'min nampak dalam keadaan terjadinya kecelakaan dan menanggung akibat-akibatnya.
- Asuransi ta'awun (saling membantu)
- Asuransi tijary (perusahaan)
Asuransi Ta'awun
Yaitu berkumpulnya sekelompok orang yang terancam bahaya yang serupa untuk masing-masing mengumpulkan uang dalam jumlah tertentu yang akan diberikan sebagai ganti untuk orang yang tertimpa musibah, jika uang hasil patungan itu lebih, maka masing - masing mereka bisa meminta kembali tapi jika kurang maka masing-masing anggota diminta untuk memberikan tambahan patungan untuk menutupi kekurangan, atau mungkin ganti ruginya dikurangai karena kelemahan untuk menutupinya, sehingga masing-masing dari mereka menjadi penjamin dan yang dijamin. Tujuan dari asuransi ini adalah saling membantu untuk memikul musibah yang mungkin akan menimpa sebagian mereka atau meringankan kerugian sebagian anggota, dan sama sekali tidak diinginkan dengannya untuk mendapatkan keuntungan matrial.
Hukum Asuransi Ta'awun
Dengan melihat kepada hakekat asuransi ini kita mendapati kenyataan dan tujuannya adalah saling tolong menolong untuk menghadapi mara bahaya dan musibah yang terkadang menimpa sebagian orang dengan cara menggantinya dari uang yang telah dikumpulkan dari hasil premi mereka, dan bukanlah tujuannya untuk mencari keuntungan atau menjadikannya lahan untuk mencari penghasilan. Oleh karenanya kita berpendapat bolehnya hal itu secara syari'at, karena prinsip-prinsip dasar syari'at yang toleran mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka, berfirman Allah ta'ala yang artinya:
"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan" (Al-Maidah: 2)
Islam juga mengarah kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak diatas azas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainya sebagaimana sebuah bangunan yang saling-menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dan dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata- mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan.
Asuransi Perusahaan
Asuransi yang dimaksud adalah diluar jenis asuransi diatas, jenis ini bukan suatu hal yang dikenal dikalangan para pendahulu dari kalangan para ahli fiqh, bukan termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, karena tidak terdapat dalam masalah ini satu nash syar'i yang membahasnya dan tidak pula terdapat pula dari kalangan para sahabat dan mujtahidin yang membahas hukumnya. Maka tatkala menyebar asuransi ini dimasa kini, mulailah para ulamanya membahas, dan berbedalah pendapat mereka sesuai perbedaan ilmu dan ijtihad mereka sebagaimana perbedaan mereka dalam masalah-masalah lain.
Adapun yang kami anggap benar adalah dilarangnya asuransi jenis ini dengan alasan beberapa hal sebagai berikut:
Karena pada transaksi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror (ketidakpastian) dimana tidak diketahui siapakah yang akan mendapatkan keuntungan pada akhirnya dengan keuntungan yang besar atau siapakah yang akan tertimpa kerugian yang besar. Padahal telah terdapat perkataan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam hadits yang shohih yang melarang jual beli yang terdapat padanya ghoror [HR. Muslim] dan ghoror itu artinya, sesuatu yang tidak tentu antara mendapatkan atau tidak, atau tidak diketahui akibatnya, seperti misalnya menjual apa yang akan dikeluarkan dari perangkapnya seorang pemburu, atau menjual apa yang terdapat dalam perut hewan atau penjualan dengan cara mulamasah (yakni mengatakan kepada pembeli misalnya: Baju mana saja yang kamu sentuh maka harganya sekian) atau dengan cara munabadzah (yakni mengatakan kepada pembeli misalnya: Barang mana saja yang kamu lempar maka harganya sekian). Dan tidak diragukan lagi bahwa ketidakpastian dalam transaksi asuransi ini lebih besar dari ketidakpastian dalam contoh-contoh yang telah berlalu bahkan mungkin mengantarkan kepada banyak problem dan konflik antara kedua belah pihak.
Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba, sedang menjauh dari riba atau subhat riba adalah wajib. Dan ini akan lebih jelas dalam asuransi hidup/jiwa, dimana seorang yang mengasuransikan membayar uang dalam jumlah sedikit untuk mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang yang mungkin dia akan mendapatkannya atau mungkin juga tidak, jika ternyata dia tidak bisa memenuhi beberapa preminya. Maka hakekat transaksi ini adalah tukar menukar uang, salah satunya dengan kontan dan yang lain tidak kontan dan lebih dari itu dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba dengan dua jenisnya (yaitu riba fadl dan riba nasi'ah).
Di dalamnya terdapat perbuatan memakan harta manusia dengan bathil (tanpa hak) oleh pihak muammin disaat pelanggan tidak tertimpa musibah dan oleh pihak mustafid disaat terjadi musibah yang menimpanya, itu karena terkadang perusahaan membayar berlipat-lipat dari apa yang dibayarkan kepadanya, padahal telah terdapat hadits shohih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata kepada orang yang menjual korma kemudian korma itu tertimpa bencana: Dengan imbalan apa engkau menghalalkan harta saudaramu (yang membeli kormamu)?? Dan beliau juga berkata: Jika engkau jual korma kepada saudaramu kemudian tertimpa bencana, maka tidak halal bagimu untuk mengambil darinya sesuatupun, dengan imbalan apa engkau ambil harta saudaramu tanpa hak?? [HR. Muslim]. Dari sini nampak bahwa tidak perlu lagi ditoleh kepada gambaran transaksi yang terjadi diantara mereka dengan saling ridho dan rela, akan tetapi dilihat dari sisi bahwa salah satu pihak akan kehilangan haknya tanpa imbalan, oleh karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah sebelum nampak matangnya (karena alasan yang sama). Adapaun alasan bahwa kedua belah pihak melakukannya dengan saling rela maka ini adalah alasan yang bathil karena transaksi atau akad yang haram seperti judi yang terjadi dengan kerelaan orang yang melakukannya tidak menjadikan halalnya judi.
Bahwasanya transaki ini mengantarkan kedua belah pihak kepada permusuhan dan perselisihan, hal itu karena ketika terjadinya musibah masing-masing dari keduanya berusaha untuk menimpakan kerugian kepada pihak lain, yang kemudian berakibat perselisihan dan problem dan (mungkin) saling mengangkat permasalahan kepada pengadilan untuk menetapkan keabsahan terjadinya bencana yang sesuai dengan perjanjian ketika akad atau tidak sahnya, kemudian bagaimana terjadinya dan apakah itu bisa dijadikan alasan atau tidak?? Sebagaimana juga pihak perusahaan melihat kepada musta'min ketika dia membayar dengan penglihatan bahwa dialah penyebab kerugian perusahaannya atau kelemahannya. Begitu juga musta'min ketika tidak terjadi bencana, dia akan menyesali atas pembayarannya dan kerugiannya yang telah dia bayarkan kepada perusahaan yang tidak memberikan imbalan sesuatu apapun, karena perusahan menganggap pembayaran premi itu merupakan haknya dan penghasilannya bukan jasa dari yang membayarnya.
Tidak ada kebutuhan untuk membolehkannya, sedang Islam telah menjamin pemeluknya dengan disyari'atkannya sodaqoh dan diwajibkannya zakat untuk fakir miskin dan yang terlilit hutang, dalam hadits Nabi bersabda: "Saya lebih utama atas setiap muslim dari dirinya, barangsiapa yang meniggalkan warisan maka untuk pewarisnya, dan barang siapa yang meninggalkan hutang atau kehilangan, maka kepadaku dan (kewajiban) atasku (untuk membayarnya)."
Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salah satu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung - untungan atau tanpa pekerjaan, maka jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan tapi jika tidak maka akibatnya akan merugikannya, kalau begitu prinsip perjudian terdapat dalam transaksi ini, dan maslahat masing-masing fihak tegak diatas bencana yang lain, perusahaan maslahatnya pada apa yang ia dapatkan ketika tidak terjadi kecelakaan, dan maslahat musta'min nampak dalam keadaan terjadinya kecelakaan dan menanggung akibat-akibatnya.
0 Response to "Macam-macam Asuransi"
Post a Comment