Ada keterkaitan antara kemiskinan dengan kasus TB Paru BTA (+), daerah yang memiliki angka kemiskinan penduduk tertinggi yaitu Kecamatan Samarinda Utara dengan jumlah kasus tertinggi pula yaitu 20 kasus. Namun, pada penelitian ini sampel yang berada di Kecamatan Samarinda Utara sebanyak 13 kasus adalah mereka yang berada dalam kondisi ekonomi sejahtera, mereka tertular ketika bekerja yang kemungkinan terpapar oleh rekannya, selain itu yang menjadi faktor penyebabnya adalah kebiasaan sehari-hari penderita misalnya perokok, sering mandi malam, kondisi rumah yang sirkulasi udaranya kurang lancar walaupun hal-hal tersebut bukan faktor utama namun akan menjadi faktor pendukung yang secara bersama-sama akan mempengaruhi fungsi paru dan memudahkan bagi kuman TB untuk menginfeksi.
Hal ini menunjukkan bahwa TB Paru tidak hanya menyerang orang-orang dengan kondisi ekonomi lemah, sehingga butuh perhatian khusus untuk penyakit TB. Selain itu Kecamatan Samarinda Ilir yang merupakan kecamatan dengan angka kemiskinan tertinggi kedua setelah Kecamatan Samarinda Utara, kasus TB Paru mengalami peningkatan yang signifikan dari triwulan I yaitu 2 kasus menjadi 6 kasus pada triwulan II.
Terjadinya peningkatan yang signifikan bisa disebabkan karena Kecamatan Samarinda Ilir dari kasus yang ada diketahui bahwa banyak penduduknya yang berpendidikan rendah selain itu daerah ini merupakan daerah yang yang terdiri dari beragam suku sehingga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Selain itu dengan jumlah penduduk terbanyak kedua diantara kecamatan yang ada di Samarinda, namun tidak diimbangi dengan jumlah pelayanan kesehatan yang hanya terdapat 3 puskesmas dengan jumlah penduduk 108,742 jiwa, padahal idealnya setiap puskesmas melayani 30,000 jiwa (Profil Kesehatan Kota Samarinda) maka berdampak pada rendahnya penemuan kasus yang berakibat pada peningkatan kasus karena tidak segera diatasi.
Ekonomi rendah secara bersama-sama dengan faktor lainnya menjadi prasyarat timbulnya sakit akan tetapi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri (Sugiarto, 2004). Kemiskinan akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik dari segi kesehatan, pendidikan, kondisi rumah dan lain-lain. Bila seseorang miskin maka akan sulit baginya untuk dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan karena mungkin ia merasa mahal dan tidak mampu untuk membayarnya, demikian juga halnya dengan pendidikan, orang yang tidak mampu maka pendidikan baginya seolah sesuatu yang sangat sulit untuk dijangkau, selain biaya pendidikan yang mahal, ia pun akan berpikir bahwa dana yang ia miliki akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer terutama pangan sehari-hari. Demikian juga dengan kondisi rumah, selain tak mampu untuk membangun rumah layak huni, merekapun tidak tahu syarat rumah yang sehat karena pendidikan yang rendah.
Menurut Saad (2005) hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
Bila ditelaah kondisi gizi buruk mempengaruhi penularan TB, sebab gizi buruk akan mempengaruhi imunitas seseorang, dan bila imunitasnya menurun maka akan mudah baginya untuk terinfeksi ketika ia terpapar kuman TB. Selain itu, karena TB sangat mudah menular dan bakterinya hanya akan mati bila terkena sinar matahari langsung, maka dengan keadaan lingkungan perumahan yang tidak sehat, seperti padat dan sanitasi buruk akan menjadi lembab dan kuman TB akan menyebar.
Ekonomi rendah secara bersama-sama dengan faktor lainnya menjadi prasyarat timbulnya sakit akan tetapi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri (Sugiarto, 2004). Kemiskinan akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan baik dari segi kesehatan, pendidikan, kondisi rumah dan lain-lain. Bila seseorang miskin maka akan sulit baginya untuk dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan karena mungkin ia merasa mahal dan tidak mampu untuk membayarnya, demikian juga halnya dengan pendidikan, orang yang tidak mampu maka pendidikan baginya seolah sesuatu yang sangat sulit untuk dijangkau, selain biaya pendidikan yang mahal, ia pun akan berpikir bahwa dana yang ia miliki akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer terutama pangan sehari-hari. Demikian juga dengan kondisi rumah, selain tak mampu untuk membangun rumah layak huni, merekapun tidak tahu syarat rumah yang sehat karena pendidikan yang rendah.
Menurut Saad (2005) hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya.
Bila ditelaah kondisi gizi buruk mempengaruhi penularan TB, sebab gizi buruk akan mempengaruhi imunitas seseorang, dan bila imunitasnya menurun maka akan mudah baginya untuk terinfeksi ketika ia terpapar kuman TB. Selain itu, karena TB sangat mudah menular dan bakterinya hanya akan mati bila terkena sinar matahari langsung, maka dengan keadaan lingkungan perumahan yang tidak sehat, seperti padat dan sanitasi buruk akan menjadi lembab dan kuman TB akan menyebar.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ibu Pertiwi di Jakarta Timur (2004) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara penghasilan dengan kejadian TB Paru pada anak umur 0-14 tahun mungkin disebabkan masyarakat di Jakarta Timur rata-rata adalah bekerja sebagai tenaga kontrak (73%), daerah kumuh sebanyak (15%), dengan jumlah KK 102.779, keadaan ini menunjukkan jumlah penghasilan yang masih rendah sehingga merupakan tempat berkembang biaknya kuman yang patogen.
0 Response to "Hubungan Kasus TB Paru BTA (+) dengan Kemiskinan "
Post a Comment