Pengertian Desentralisasi dan otonomi

Pengertian Desentralisasi dan otonomi
Sebagai suatu negara kesatuan yang menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah pusat memberi keleluasaan atau kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Perubahan kedua Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan antara lain bahwa negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Sesuai dengan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 tersebut maka sistem pemerintahan di Indonesia mengenal adanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembentukan pemerintahan daerah didasari oleh kondisi wilayah negara yang sangat luas, mencakup berbagai kepulauan, masyarakatnya memiliki latar belakang budaya yang sangat beragam, yang mengakibatkan sulitnya pengelolaan pemerintahan apabila segala sesuatunya diurus oleh pemerintah pusat yang berkedudukan di ibukota negara.

Untuk mengurus penyelenggaraan pemerintahan secara lebih efektif dan efisien ke seluruh pelosok wilayah negara maka dibentuklah pemerintahan daerah yang menyelenggarakan urusan-urusan atau fungsi-fungsi pemerintahan di daerah, khususnya yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Penyerahan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan pemerintahan di daerah sesuai dengan kepentingan masyarakatnya itulah yang dinamakan dengan desentralisasi.

Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yaitu “de” lepas “conterum’ pusat. Jadi berdasarkan peristilahannya desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Istilah “autonomie” berasal dari bahasa Yunani “autos” sendiri “nomos” undang-undang, berarti “perundangan sendiri (zelfwetgefing).Di Indonesia dalam perkembangannya, otonomi itu selain mengandung arti “perundangan” (regeling) juga mengandung arti “pemerintahan” (bestuur). Oleh karena itu dalam membahas desentralisasi secara tidak langsung membahas pula mengenai otonomi. Karena kedua hal tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terpisahkan, apalagi dalam kerangka Negara kesatuan. (Sudi Fahmi, 2006).

Desentralisasi acapkali dilawan artikan dengan sentralisasi. Kini, hampir setiap Negara menggagas arti penting dari pada desentralisasi. Permasalahan desentralisasi dibeberapa Negara Eropa Timur juga menemukan urgensinya setelah pasca tahun 1990. Kemudian desentralisasi juga menjadi wacana menarik dibeberapa Negara Asia Pasipik, seperti Australia, Korea dan Okinawa. Hal yang menjadi pertanyaan apakah desentalisasi itu?

Dikalangan para ahli pengertian desentralisasi dipahami sebagai pembagian atau penyerahan kekuasaan pmerintahan dari tingkat pusat atau tingkat atasnya kepada pemerintah daerah. Sedangkan otonomi adalah merupakan kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otonom, dalam arti penggunaan segala kekuasaan daerah otonom untuk mengurus kepentingan penduduk berdasarkan atas prakarsa sendiri. Bagir Manan, 2001) mengatakan bahwa otonomi mengandung makna kemandirian untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dalam kemandirian terkandung kebebasan. Tidak ada kemandirian tanpa kebebasan.

Bertolak dari pendapat mengenai otonomi di atas bahwa pada hakekatnya otonomi sama dengan demokrasi yakni kebebasan sekelompok manusia dalam mencapai kesejahteraan, namun lingkup otonomi lebih sempit dibandingkan demokrasi. Sebagaimana yang telah dikemukan di atas bahwa antara desentralisasi dan otonomi tidak dapat dipisahkan ibarat dua sisi dari suatu mata uang (Gerald S. Maryanov, 1958) maka dalam rangka menjalankan otonomi tidak lepas dari prinsip desentralisasi.

Desentralisasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membagi kekuasaan (division of power). Pembagian kekuasaan secara teoritis dapat dilakukan melalui dua cara, yakni capital division of power dan area/ division of power. Capital division of power merupakan pembagian kekuasaan sesuai dengan ajaran trias politica dari Montesque, yakni membagi kekuasaan menjadi kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang (kekuasaan eksekutif), kekuasaan untuk membuat undang-undang (kekuasaan legislatif) dan kekuasaan kehakiman (judikatif). Sedangkan areal division of power dapat dilakukan dengan dua cara, yakni desentralisasi dan dekonsentrasi.

Desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan secara legal (yang dilandasi hukum) untuk melaksanakan fungsi tertentu atau fungsi yang tersisa kepada otoritas lokal yang secara formal diakui oleh konstitusi (Maddick, 1963). Sedangkan dekonsentrasi merupakan pendelegasian kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang berada di luar kantor pusat (Maddick, 1963).

Pandangan lain mengenai pengertian desentralisasi dikemukakan oleh Chema dan Rondinelli (1983). Menurut mereka desentralisasi .... is the transfer or delegating of planning, decision making or management authority from the central government and its agencies to field organizations, subbordinate units of government, semi-autonomous public coorporations, area wide or regional authorities, functional authorities, or non governmental organizations (Chema and Rondinelli, 1983). Tipe desentralisasi ditentukan oleh sejauh mana otoritas atau kekuasaan ditransfer dari pusat dan aransemen institusional (institutional arrangement) atau pengaturan kelembagaan apa yang digunakan untuk melakukan transfer tersebut. Dalam hal ini desentralisasi dapat berupa yang paling sederhana, yakni penyerahan tugas-tugas rutin pemerintahan hingga ke pelimpahan kekuasaan (devolusi) untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat.

Menurut mereka selanjutnya decentralization dapat dilaksanakan dengan dua cara, yakni dengan melakukan functional decentralization (desentralisasi fungsional) atau dengan cara melaksanakan area/ decentralization (desentralisasi tentorial). Desentralisasi fungsional merupakan suatu transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada lembaga-lembaga tertentu yang memiliki fungsi tertentu pula. Misalnya adalah penyerahan kewenangan atau otoritas untuk mengelola suatu jalan tol dari Departemen Pekerjaan Umum kepada suatu BUMN tertentu. Sedangkan desentralisasi teritorial merupakan transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada lembaga-lembaga publik yang beroperasi di dalam batas-batas area tertentu, seperti pelimpahan kewenangan tertentu dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten atau kota.

Atas dasar kedua cara tersebut maka menurut Chema dan Rondinelli (1983) terdapat empat bentuk desentralisasi yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk melakukan transfer otoritas, baik dalam melakukan perencanaan maupun pelaksanaan otoritas tersebut, yakni deconcentration (dekonsentrasi), delegation (delegasi), devolution (devolusi), privatization (privatisasi). Dalam desentralisasi, unit-unit lokal dibentuk dengan kekuasaan tertentu yang dimilikinya dan kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dengan mana mereka dapat melaksanakan keputusan-keputusannya sendiri, inisiatifnya sendiri, dan mengadministrasikannya sendiri (Maddick & Adelfer). Pengertian desentralisasi menurut Maddick dan Adelfer mengandung dua elemen yang bertalian, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan  secara   hukum  untuk   menangani   bidang-bidang   pemerintahan tertentu.

Menurut Rondinelli, Nellis dan Chema (1983) desentralisasi melahirkan penguatan baik dalam bidang finansial maupun legal (dalam arti mengatur dirinya sendiri, mengambil keputusan) dari unit-unit pemerintahan daerah. Sedangkan menurut Bagir Manan mengemukakan pendapatnya dengan mendasarkan diri pada pendapatnya Van der Pot bahwa desentralisasi ada dua macam, yakni Desentralisasi territorial yang dijelmakan dalam bentuk badan yang di dasarkan pada wilayah (gebiedscorporaties) dan desentralisasi fungsional yang dijelmakan dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu.

Dengan desentralisasi maka aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat secara substansial diserahkan kepada unit-unit pemerintahan daerah, dan dengan demikian berada di luar kontrol pemerintah pusat. Menurut mereka karakteristik utama dari desentralisasi adalah: Pertama, adanya unit-unit pemerintahan lokal yang otonom, independen dan secara jelas dipersepsikan sebagai tingkat pemerintahan yang terpisah dengan mana otoritas yang diberikan kepadanya dengan hanya sedikit atau malah tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat. Kedua, pemerintah lokal yang memiliki batas-batas geografis yang jelas dalam mana mereka melaksanakan otoritas dan memberikan pelayanan publik. Ketiga, pemerintah lokal yang memiliki status sebagai korporat dan memiliki kekuasaan untuk mengelola sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.

Dengan demikian desentralisasi melahirkan daerah otonom. Daerah otonom memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah berada di luar hirarki organisasi pemerintah pusat, bebas bertindak, tidak berada dibawah pengawasan langsung pemerintah pusat, bebas berprakarsa untuk mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat, tidak diintervensi oleh pemerintah pusat, mengandung integritas sistem, memiliki batas-batas tertentu (boundaries), serta memiliki identitas.

Sementara itu menurut Smith (1967) desentralisasi akan melahirkan pemerintahan daerah (local self government), sedangkan dekonsentrasi akan melahirkan pemerintahan lokal (local state government atau field administration). Menurut Smith (1967) desentralisasi memiliki berbagai ciri seperti penyerahan wewenang untuk melaksanakan fungsi pemerintahan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah otonom; fungsi yang diserahkan dapat dirinci, atau merupakan fungsi yang tersisa (residual functions); penerima wewenang adalah daerah otonom; penyerahan wewenang berarti wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan, wewenang untuk mengatur dan mengurus (regeling en bestur) kepentingan yang bersifat lokal; wewenang mengatur adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang berlaku umum, atau bersifat abstrak; wewenang mengurus adalah wewenang untuk menetapkan norma hukum yang bersifat individual, atau bersifat konkrit (beschikking, acte administratis verwaltungsakt); keberadaan daerah otonom adalah di luar hirarki organisasi pemerintah pusat; menunjukkan pola hubungan kekuasaan antar organisasi; serta menciptakan political variety dan diversity of structure dalam sistem politik.

Dalam rangka menjalankan sistem desentralisasi pemerintahan, di daerah-daerah dibentuk  pemerintah daerah (local government) yang merupakan badan hukum yang terpisah dari pemerintah pusat (central government). Kepada pemerintah-pemerintah daerah tersebut diserahkan sebagian dari fungsi-fungsi pemerintahan (yang sebelumnya merupakan fungsi pemerintah pusat) untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Disamping itu kepada daerah-daerah diserahkan pula sumber-sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai fungsi-fungsi yang telah diserahkan. Demikian pula secara organisasi dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui suatu sistem pemilihan umum.

Dengan demikian pemerintah daerah merupakan suatu lembaga yang mempunyai kekuasaan otonomi untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaannya sendiri, bagaimana menjalankan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut, serta bagaimana cara-cara untuk membiayainya. Perbedaan pelaksanaan desentralisasi pada pandangan pertama dan kedua dapat dilihat pada berbagai aspek pada sistem pemerintahan daerah yang ada, seperti aspek keuangan, aspek pelimpahan kewenangan, aspek kepegawaian, serta sikap dan perilaku para elite di tingkat pusat maupun daerah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pengertian Desentralisasi dan otonomi"

Post a Comment