Hubungan Kasus TB Paru BTA (+) dengan Kepadatan Penduduk

Hubungan antara Kasus TB Paru BTA (+) dengan Kepadatan Penduduk

Kepadatan tidak berkaitan dengan kasus TB Paru BTA (+), menurut WHO dalam Ginting (2006) wilayah yang kepadatan penduduknya tinggi cenderung memiliki tempat tinggal yang kumuh, hygiene dan nutrisi yang buruk, sehingga bila ada warganya terkena penyakit TB akan mempercepat proses penyebarannya, akan tetapi dalam penelitian ini Kecamatan Samarinda Utara dengan kepadatan rendah justru ditemui banyak kasus, hal ini terjadi karena kasus yang ditemui kebanyakan mereka adalah orang-orang yang memiliki pekerjaan dengan mobilitas tinggi di luar kota, jenis pekerjaan menentukan faktor resiko yang harus dihadapi setiap individu. 
 
Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.

Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (konstruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan di bawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi bagi setiap anggota keluarganya sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam jenis konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru. 
 
Pada penelitian yang dilakukan oleh Helda Suarni (2009) di Kecamatan Pancoran Mas Jakarta menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan kejadian TB Paru BTA (+). Hal ini terjadi antara yang bekerja dan tidak bekerja antara kasus dan kontrol sebarannya sama. Pekerjaan responden untuk kasus maupun kontrol mempunyai resiko untuk tertular penyakit TB Paru. Karena jenis pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi setiap individu, untuk itu penyuluhan harus tetap diberikan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat dalam upaya pencegahan terhadap penyakit TB Paru.

American Lungs Association (2005) menyatakan bahwa ketika orang-orang dengan TB Paru atau laring batuk, tertawa, bersin, bernyanyi, atau berbicara, maka kuman penyebab tuberkulosis berkemungkinan akan tersebar ke udara. Jika orang lain menghirup kuman ini, maka berkesempatan mereka akan terkena infeksi tuberkulosis. Pada umumnya dibutuhkan kontak yang berulang-ulang untuk terjadinya proses infeksi tersebut dan didukung oleh kondisi kekebalan tubuh seseorang sedang turun. Berbeda dengan Kecamatan Samarinda Ulu dengan kepadatan tinggi dalam penelitian ini hanya terdapat 7 kasus. Selain itu, jika dilihat berdasarkan kejadian pertriwulan mengalami penurunan kasus yaitu pada triwulan I ditemukan 4 kasus dan triwulan II menjadi 3 kasus. 
 
Penurunan kasus di kecamatan ini dapat dipicu karena terdapat beberapa fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kecamatan lain, terdiri dari 4 Puskesmas dan 2 Rumah Sakit besar yang mudah dijangkau, dan idealnya setiap puskesmas melayani 30,000 jiwa dalam suatu daerah (Profil Kesehatan Kota Samarinda). Dengan adanya fasilitas pelayanan kesehatan tersebut maka lebih mempermudah dalam penemuan kasus, sehingga dapat segera diatasi sehingga tidak semakin menyebar penularannya. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2003) di Jakarta Timur kepadatan rumah terbukti tidak ada hubungan dengan kejadian TB Paru. 
 
Orang yang tinggal di dalam rumah yang padat penghuninya tidak ada bedanya dengan yang tinggal di dalam rumah yang tidak padat penghuninya. Tidak adanya hubungan antara kepadatan rumah dengan kejadian TB Paru dalam penelitian ini mungkin angka prevalensi TB Paru di Indonesia tinggi, sehingga kesempatan untuk kontak dengan penderita TB bisa terjadi di luar rumah. Alasan lain mungkin karena responden dalam penelitian ini homogen, yaitu proporsi kepadatan rumah antara kelompok kasus dan kontrol relatif sama.

Hal ini berbanding terbalik dengan teori Achmadi (2005) bahwa kesehatan lingkungan cenderung timbul pada daerah persatuan area. Suatu lingkungan yang padat penduduknya akan menimbulkan kesan kumuh, dan memang hal ini tidak dapat dipungkiri akan mengakibatkan sanitasi yang buruk dan memudahkan bagi penyakit menular untuk menyebar.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hubungan Kasus TB Paru BTA (+) dengan Kepadatan Penduduk"

Post a Comment