Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan atas timbulnya kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TB saling berkaitan satu sama lainnya (Saad, 2005)
a. Kondisi Sosial Ekonomi
Menurut Beaglehole (1993) dalam Sugiarto (2004) TB Paru seringkali dikaitkan dengan kondisi ekonomi. Orang yang hidup dalam kemiskinan biasanya mempunyai kesehatan yang buruk. Ini diantaranya disebabkan oleh tingginya pemaparan infeksi akibat kepadatan penghuni, makanan yang tidak cukup ataupun lingkungan kerja yang tidak sehat. Ekonomi rendah secara bersama-sama dengan faktor lainnya menjadi prasyarat timbulnya sakit akan tetapi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga. (Saad, 2005).
Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki 14 kriteria untuk menentukan keluarga/ rumah tangga miskin yaitu:
1) Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan.
3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.
4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6) Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah.
8) Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu
9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10) Hanya sanggup makan hanya satu/ dua kali dalam sehari.
11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik.
12) Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- (Enam Ratus Ribu) per bulan.
13) Pendidikan tertinggi kepala keluarga : tidak bersekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD.
14) Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- (Lima Rus Ribu Rupiah), seperti sepeda motor kredit/ non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya (http://www.dinsos.pemda-diy.go.id/).
Dari 14 kriteria tersebut BPS mengklasifikasikan kemiskinan menjadi tiga kategori yaitu:
a. Kategori sangat miskin, bila memiliki 12 kriteria,
b. Kategori miskin bila memenuhi 6 - 10 kriteria,
c. Mendekati miskin bila memenuhi 5 -6 kriteria.
Penelitian Budiono (2003) di Jakarta Timur menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara sosial ekonomi dengan kejadian TB Paru, namun dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah yang memilki strata sosial ekonomi relatif hampir sama. Hal ini terbukti bahwa proporsi responden antara ekonomi rendah dan yang lebih tinggi hampir sama, kondisi inilah yang mungkin menyebabkan sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kejadian TB Paru. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2004) di Kabupaten Bengkulu Utara bahwa orang yang mempunyai penghasilan rendah berisiko 1,14 kali untuk mengalami kejadian TB Paru BTA (+) dibandingkan dengan orang yang mempunyai penghasilan lebih.
b. Kepadatan
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah maupun kepadatan hunian tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat, dengan rumus jumlah penghuni/luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10m2 per orang (Depkes, 2003). Sedangkan kepadatan penduduk dirumuskan jumlah jiwa/km2 . Menurut Undang-undang No.56 Tahun 1960 ada empat klasifikasi kepadatan penduduk, yaitu:
1) Tidak padat (0-50 jiwa/km2 )
2) Kurang padat (51-250 jiwa/km2 )
3) Cukup padat (251-400 jiwa/km2 )
4) Sangat padat (> 401 jiwa/km2 )
Penelitian Apriani (2001) di Sulawesi Tengah menunjukkan hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru. Orang yang tinggal dalam rumah yang padat penghuninya mempunyai risiko untuk tertular TB 1,55 kali pada kontrol 1 dan 1,79 kali pada kontrol dua. Sedangkan penelitian Budiono (2003) di Jakarta Timur kepadatan rumah terbukti tidak ada hubungan dengan kejadian TB Paru. Orang yang tinggal di dalam rumah yang padat penghuninya tidak ada bedanya dengan yang tinggal di dalam rumah yang tidak pada penghuninya. Tidak adanya hubungan antara kepadatan rumah dengan kejadian TB Paru dalam penelitian ini mungkin angka prevalensi TB Paru di Indonesia tinggi, sehingga kesempatan untuk kontak dengan penderita TB bisa terjadi di luar rumah. Alasan lain mungkin karena responden dalam penelitian ini homogen, yaitu proporsi kepadatan rumah antara kelompok kasus dan kontrol relatif sama.
c. Faktor Risiko Perilaku
Faktor risiko perilaku adalah kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan/penyebaran penyakit. Yang termasuk factor risiko perilaku dalam terjadinya penularan TB adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan tidur penderita TB bersama-sama dengan anggota keluarga
2. Tidak menjemur kasur secara berkala (Saad, 2005)
3. Kebiasaan membuang ludah/dahak sembarangan
4. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela rungan
5. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela kamar tidur
6. Kebiasaan tidak pernah membersihkan lantai
7. Kebiasaan merokok (Saad, 2005)
Menurut Johnson (2008) dalam Nurun (2009) banyak hal yang menjadi faktor resiko penyebab TB paru. Diantaranya adalah status ekonomi yang rendah, keadaan gizi yang kurang baik, pengetahuan kesehatan yang kurang sehingga keadaan kesehatan lingkungan pun menjadi buruk dan menyebabkan bakteri Tuberculosis berkembang biak.
Selain itu, pengobatan tuberkulosis terkendala oleh seringnya pasien tidak melanjutkan pengobatan hingga tuntas karena jenuh ataupun karena merasa lebih baik setelah minum obat di dua bulan pertama. Faktor lain yang menjadi penyebab penghambat pengobatan tuberkulosis menurut Jajat (2000) dalam Suherman (2002) adalah ketersediaan sumber daya kesehatan (meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, petugas puskesmas, dan lain-lain), keterjangkauan sumber daya (biaya pengobatan, jarak rumah ke sarana kesehatan, ketersediaan transportasi, dan lain-lain) dan komitmen masyarakat dan pemerintah.
a. Kondisi Sosial Ekonomi
Menurut Beaglehole (1993) dalam Sugiarto (2004) TB Paru seringkali dikaitkan dengan kondisi ekonomi. Orang yang hidup dalam kemiskinan biasanya mempunyai kesehatan yang buruk. Ini diantaranya disebabkan oleh tingginya pemaparan infeksi akibat kepadatan penghuni, makanan yang tidak cukup ataupun lingkungan kerja yang tidak sehat. Ekonomi rendah secara bersama-sama dengan faktor lainnya menjadi prasyarat timbulnya sakit akan tetapi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga. (Saad, 2005).
Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki 14 kriteria untuk menentukan keluarga/ rumah tangga miskin yaitu:
1) Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan.
3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.
4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6) Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah.
8) Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu
9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10) Hanya sanggup makan hanya satu/ dua kali dalam sehari.
11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik.
12) Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- (Enam Ratus Ribu) per bulan.
13) Pendidikan tertinggi kepala keluarga : tidak bersekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD.
14) Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- (Lima Rus Ribu Rupiah), seperti sepeda motor kredit/ non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya (http://www.dinsos.pemda-diy.go.id/).
Dari 14 kriteria tersebut BPS mengklasifikasikan kemiskinan menjadi tiga kategori yaitu:
a. Kategori sangat miskin, bila memiliki 12 kriteria,
b. Kategori miskin bila memenuhi 6 - 10 kriteria,
c. Mendekati miskin bila memenuhi 5 -6 kriteria.
Penelitian Budiono (2003) di Jakarta Timur menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara sosial ekonomi dengan kejadian TB Paru, namun dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah yang memilki strata sosial ekonomi relatif hampir sama. Hal ini terbukti bahwa proporsi responden antara ekonomi rendah dan yang lebih tinggi hampir sama, kondisi inilah yang mungkin menyebabkan sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kejadian TB Paru. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2004) di Kabupaten Bengkulu Utara bahwa orang yang mempunyai penghasilan rendah berisiko 1,14 kali untuk mengalami kejadian TB Paru BTA (+) dibandingkan dengan orang yang mempunyai penghasilan lebih.
b. Kepadatan
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah maupun kepadatan hunian tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat, dengan rumus jumlah penghuni/luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10m2 per orang (Depkes, 2003). Sedangkan kepadatan penduduk dirumuskan jumlah jiwa/km2 . Menurut Undang-undang No.56 Tahun 1960 ada empat klasifikasi kepadatan penduduk, yaitu:
1) Tidak padat (0-50 jiwa/km2 )
2) Kurang padat (51-250 jiwa/km2 )
3) Cukup padat (251-400 jiwa/km2 )
4) Sangat padat (> 401 jiwa/km2 )
Penelitian Apriani (2001) di Sulawesi Tengah menunjukkan hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB Paru. Orang yang tinggal dalam rumah yang padat penghuninya mempunyai risiko untuk tertular TB 1,55 kali pada kontrol 1 dan 1,79 kali pada kontrol dua. Sedangkan penelitian Budiono (2003) di Jakarta Timur kepadatan rumah terbukti tidak ada hubungan dengan kejadian TB Paru. Orang yang tinggal di dalam rumah yang padat penghuninya tidak ada bedanya dengan yang tinggal di dalam rumah yang tidak pada penghuninya. Tidak adanya hubungan antara kepadatan rumah dengan kejadian TB Paru dalam penelitian ini mungkin angka prevalensi TB Paru di Indonesia tinggi, sehingga kesempatan untuk kontak dengan penderita TB bisa terjadi di luar rumah. Alasan lain mungkin karena responden dalam penelitian ini homogen, yaitu proporsi kepadatan rumah antara kelompok kasus dan kontrol relatif sama.
c. Faktor Risiko Perilaku
Faktor risiko perilaku adalah kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan/penyebaran penyakit. Yang termasuk factor risiko perilaku dalam terjadinya penularan TB adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan tidur penderita TB bersama-sama dengan anggota keluarga
2. Tidak menjemur kasur secara berkala (Saad, 2005)
3. Kebiasaan membuang ludah/dahak sembarangan
4. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela rungan
5. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela kamar tidur
6. Kebiasaan tidak pernah membersihkan lantai
7. Kebiasaan merokok (Saad, 2005)
Menurut Johnson (2008) dalam Nurun (2009) banyak hal yang menjadi faktor resiko penyebab TB paru. Diantaranya adalah status ekonomi yang rendah, keadaan gizi yang kurang baik, pengetahuan kesehatan yang kurang sehingga keadaan kesehatan lingkungan pun menjadi buruk dan menyebabkan bakteri Tuberculosis berkembang biak.
Selain itu, pengobatan tuberkulosis terkendala oleh seringnya pasien tidak melanjutkan pengobatan hingga tuntas karena jenuh ataupun karena merasa lebih baik setelah minum obat di dua bulan pertama. Faktor lain yang menjadi penyebab penghambat pengobatan tuberkulosis menurut Jajat (2000) dalam Suherman (2002) adalah ketersediaan sumber daya kesehatan (meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, petugas puskesmas, dan lain-lain), keterjangkauan sumber daya (biaya pengobatan, jarak rumah ke sarana kesehatan, ketersediaan transportasi, dan lain-lain) dan komitmen masyarakat dan pemerintah.
0 Response to "Faktor Risiko Variabel Tuberkulosis"
Post a Comment