Konstatasi adanya kesenjangan antara niat (willingness; political will)
Pemerintah Indonesia dan realitas di lapangan dalam melaksanakan asas desentralisasi dan otonomi daerah, berawal dari perkembangan konfigurasi politik yang mendasari piranti perundang - undangan serta komitmen politik pemerintah yang sangat jelas menginginkan terwujudnya otonomi daerah dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan di Indonesia, berdasarkan asas desentralisasi.
Namun, sejauh ini perwujudan asas ini masih senggang dari idealisasi yang diharapkan. Misalnya, beberapa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daeah Kabupaten/Kota, yang seharusnya sudah bisa direalisasikan di daerah, nyatanya masih tetap ditangani oleh pusat dengan dalih eksternalitas dan akuntabilitas tergolong kepada kepentingan nasional (seperti: petanahan, sumber-sumber daya alam dan sumber daya lainnya dlsb.), sehingga dalam realisasi manajemen pemerintahan terdapat beberapa Keppres yang dikeluarkan yang dalam praktek mengalahkan kekuatan Undang-undang.
Sebagai bangsa yang besar, seharusnya kita bisa mengatasi segala persoalan yang besar pula. Dalam sejarah bangsa ini, kita melihat kenyataan selalu bisa keluar dari berbagai kemelut bangsa, baik mengusir penjajah, meredam berbagai pemberontakan, dan jatuh bangunnya sistem pemerintahan yang berganti - ganti. Kita juga telah memperlihatkan kepada dunia atas kemampuan kita mngintegrasikan seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah yang amat luas ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini bukan kerja yang asal - asalan, tetapi pekerjaan besar, pekerjaan yang genius, berkat pimpinan negara yang lalu. Bung Karno, seorang yang gandrung akan persatuan dan selalu bergelora bicara masa depan bangsa. Ia hidup dalam mimpi - mimpi dan gagasan besar, tetapi yang kurang diperhatikan adalah merumuskan atau membuat fondasi tahapan seperti apa yang harus dilalui untuk menjadi bangsa yang besar itu. Penggantinya H.M.Soeharto, menggerakan sejarah persatuan dengan doktrin dan kekuatan tentara. Politik menjadi “tertib” sebab semuanya dalam bingkai dan kontrol negara. Pengelola negara yang mestinya melayani publik, memposisikan dirinya sebagai pihak yang harus dilayani. Pengelolaan negara dan keluarga pun menjadi wilayah yang sulit dibedakan.
Dalam tumpang tindih garis batas wilayah negara dan keluarga, praktek perkoncoan dan kronisme pun tidak bisa dihindarkan. Baik Bung Karno maupun Pak Harto kurang memperhatikan aspek pembngunan manusia (human development). “Politik” adalah panglima di masa orde lama dan “stabilitas” adalah panglima di masa orde baru. Keduanya telah mengorbankan kualitas manusia Indonesia[1] Dampaknya, adalah sangat mudah difahami kalau menurut ukuran Human Development Index (HDI), kualitas manusia Indonesia terburuk di antara negara - negara di Asean, dimana Indonesia berada di peringkat ke-111 di antara 175 negara di dunia, sedangkan Malaysia yang dulu hampir seluruhnya belajar dari kita, kini di urutan ke-76, dan Filipina di urutan ke-98. Dalam pada itu, menurut Badan Pusat Statistik 2004, kini penduduk miskin mencapai 36,1 juta. Kondisi kemiskinan seperti ini setara dengan keadaan 15 tahun yang lalu.[2]
Inilah salah satu masalah cukup mendasar yang menjadi tantangan kita dalam menghadapi krisis multidimensi, melalui kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia menuju kepada proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good governance), dan yang berpihak kepada rakyat.
[1] Editorial Media Indonesia, Rabu, 16 Maret 2005/No.8867/Tahun XXXVI.
[2] Ibid, Editorial Media Indonesia.
0 Response to "Kesenjangan antara niat dan realitas"
Post a Comment