Melalui kajian sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia, tampak sebenarnya adanya semacam kesinambungan upaya mewujudkan desentralisasi yang selalu berakhir dengan munculnya praktek - praktek sentralisasi. Apakah dengan melalui Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1945; Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pengecualian terjadi pada masa berlakunya Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 yang didasarkan kepada UUDS - 1950 melalui sistem pemerintahanan yang parlementer dan dilandasi oleh faham demokrasi yang sangat liberal.
Namun, pada masa rezim Orde Lama dengan menggunakan semangat Demokrasi Terpimpin, setelah keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 umurnya tidak panjang, dan keburu dipangkas dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang merombak secara fundamental Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 hanya dengan sebuah “Penetapan Presiden” tanpa meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Alasannya, sekalipun “Penetapan Presiden” mempunyai derajat lebih rendah daripada Undang-undang, namun dasarnya adalah Dekrit Presiden yang menyelamatkan kesatuan dan persatuan bangsa, yang hampir kolaps pada Sidang Dewan Kontituante yang gagal membentuk UUD tetap, disamping untuk menghapus dualisme pemerintahan yang marasuk penyelenggaraan pemerintahan pada masa Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957. Itulah era Demokrasi Terpimpin dengan semangat “Faham Negara Intergralistik”, yang sesungguhnya faham ini, sekali lagi secara konstitutional tidak dianut di dalam UUD 1945.
Rezim Orde Lama, dengan dalih atas dasar semangat Demokrasi Terpimpin, mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghapuskan dualisme dalam pemerintahan, dengan dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959, kembali terjebak dalam pola “sentralisasi” yang merombak “sistem pemerintahan kolegial” (collegial bestuur) yang dianut dalam Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1957 menjadi “sistem pemerintahan tunggal” (Eenhoofdig-bestuur) dengan mengangkat dan mendudukan Kepala Daerah sebagai “alat daerah” dan sekaligus sebagai “alat pusat”.
Dengan kebijakan ini, upaya pemerintah untuk menghapuskan “dualisme” dalam penyelenggaraan pemerintahan, hanya berhasil menghapuskan “dualisme struktural” saja, sedangkan dualisme dalam fungsi (dualism in function) tetap tidak terhapuskan, karena justru penyelenggaraan pemerintahan dalam pelaksanaan fungsi “dekonsentrasi” yang menyangkut fungsi “pemerintahan umum” (“Algemene bestuur”) yang menurut Undang - Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang Penyerahan Tugas - Tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri dan Penyerahan Keuangannya kepada Pemerintah Daerah diletakkan kembali di tangan Kepala Derah dalam kedudukannya sebagai “alat pusat”.
Dengan demikian, kedudukan dan peranan Kepala Daerah semakin diperkuat dan semakin dominan. Itulah era pemerintahan yang disebut “Executive heavy” atau sering juga disebut “Strong Executive System”. Itulah pula sebabnya, banyak kritikan yang dilontarkan kepada rezim pemerintahan pada saat itu, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terutama setelah dikeluarkannya PenPres Nomor 6 Tahun 1959 dipandang sebagai “retreat from autonomy”.
Dengan demikian pula, terlihat adanya kausalitas antara sistem politik dan pemerintahan yang berlaku, dengan upaya mewujudkan asas desentralisasi pemerintahan. Pemerintah Indonesia tampaknya sangat menyadari kausalitas ini.
Oleh karena itu, pada era rezim Orde Baru diambil keputusan politik yang menetapkan Demokrasi Pancasila sebagai landasan berpolitik bangsa. Dengan keputusan politik tersebut, seluruh tatanan pemerintahan harus disesuaikan dengan isi dan semangat Demokrasi Pancasila. Konsekuensinya, harus disusun Undang – Undang yang menjadi landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Maka keluarlah Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok - pokok Pemerintahan di Daerah. Melalaui Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini pemerintah bertekad untuk mewujudkan Otonomi Daerah.Namun, dikehendaki agar pelaksanaan Otonomi Daerah ini tidak mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, ataupun membahayakan kesinambungan gerak pembangunan nasional. Maka lahirlah konsep “otonomi nyata dan bertanggung jawab”, Otonomi daerah dipandang lebih merupakan “kewajiban” daripada “hak”. PrinsipOtonomi yang seluas - luasnya, yang digelar melalui UU No. 18 Tahun 1965 tidak dianut lagi, karena berdasarkan pengalaman konsep ini sangat rawan disintegrasi dan dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui konsep Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 ini, pemberian otonomi daerah dalam wujud hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri, disesuaikan dengan kemampuan daerah, serta kerangka besar dalam pembangunan nasional. Tampaknya, syarat - syarat semacam ini yang memunculkan kendala baru bagi perwujudan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.
Penelitian yang terus menerus saya lakukan, menemukan bahwa UU Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah pada Daerah Tingkat II, demikian pula paradigma yang menyatakan bahwa azas desentralisasi dilaksanakan bersama - sama dengan asas dekonsentrasi, ternyata kembali terjebak dengan kecendurungan awal munculnya sentralisasi pelaksanaan administrasi pemerintahan di Indonesia, yang dalam prakteknya dekonsentrasi lebih menonjol dan sangat dominan, yang diletakkan di tangan Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai Kepala Wilayah.
Ini adalah lagi - lagi penonjolan wajah “Eksekutif heavy” dalam era konfigurasi politik menurut Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat dalam pengembangan demokrasi dan sebagai alat kontrol, dalam era Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 hampir - hampir tidak berfungsi, karena didominasi oleh wewenang Kepala Daerah/ Kepala Wilayah yang sangat kuat.
Walaupun Undang - Undang ini bertahan selama lebih dari 25 tahun, dengan menekankan bahwa titik - berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, namun keinginan politik ini tidak bisa direalisasikan, karena Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1974 baru dapat dikeluarkan 18 (delapan belas) tahun kemudian, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II. Namun, Peraturan Pemerintah inipun tidak berjalan mulus, karena lagi-lagi Pemerintah Pusat tidak konsekuen dengan kebijakannya yang mestinya Pemerintah Pusat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Pemerintah Daerah dengan mengutamakan penyerahannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, tidak berjalan dengan baik. Demikian pula, Pemerintah Daerah Tingkat I yang secara imperatif dalam PP tsb diwajibkan untuk secara berangsur - angsur selambat - lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun sejak dikeluarkannya PP tersebut, menyerahkan lebih lanjut kewenangan otonominya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II, boleh dikatakan tidak berjalan sama sekali, karena PP tersebut tegas - tegas menyatakan bahwa kebijakan peletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi keberadaan dan peranan Pemerintah Daerah Tingkat I. Dengan demikian, eksistensi Daerah Tingkat I sebagai “daerah otonom” tetap kuat, sedangkan Daerah Tingkat II perkembangan otonominya tetap tersendat - sendat.
Kemudian, kebijakan desentralisasi yang telah ditetapkan pemerintah dalam rangka reformasi perundang - undangan politik dan pemerintahan, dengan memberikan keleluasaan penyelenggaraan otonomi daerah yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah suatu strategi dan paradigma baru dalam upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kuat, bersih, bertanggung jawab dan demokratis, dengan menggeser paradigma “Executive heavy” kepada “Legislative heavy”, dengan lebih menonjolkan kepada keberpihakan kepada rakyat. Perumusan “Otonomi Daerah” yang merupakan pergeseran paradigma yang berpihak kepada rakyat, menyebutkan bahwa “Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat………. dst.”
Sebelum terjadi perubahan Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilihat dari sisi hubungan kelembagaan antara Eksekutif dan Legislatif ternyata adanya hubungan kemitraan yang sebenarnya kurang tepat (hubungan yang tidak sejajar), dimana Kepala Daerah dipilih dan ditetapkan oleh DPRD, dan bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi di pasal lain menegaskan bahwa kedudukan DPRD dan Kepala Daerah adalah sejajar sebagai mitra - kerja. Sedangkan DPRD sendiri tidak jelas bertangungg jawab kepada siapa. Kalau bertanggung jawab kepada rakyat, tidak terdapat mekanisme yang jelas bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD tersebut. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak memungkinkan adanya “kemitraan” yang sejajar dan kecendurungan secara realitas posisi DPRD lebih kuat daripada Kepala Daerah, sehingga mencerminkan gejala bahwa kewenangan DPRD lebih tinggi dari Kepala Daerah.
0 Response to "Melihat sekilas perspektif historis"
Post a Comment